Selasa, 15 Maret 2011

FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA

FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA
( باللغة الإندونيسية )
فتاوى الحج للنساء
Disusun Oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
إعداد:
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله
Penerjemah :
Mohammad Latif
ترجمة:
محمد لطيف
 Murajaah :
Abu Ziyad
مراجعة:
إيكو أبو زياد

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
 المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1430 – 2009


FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Daar Ibnu Khuzaimah

Segala puji milik Allah Tuhan sekalian alam. Sholawat dan salam semoga tercurahkan untuk penghulu para rasul, nabi kita Muhammad SAW. Inilah beberapa fatwa penting yang amat dibutuhkan oleh jamaah haji baik laki -laki maupun wanita yang hendak beribadah haji sesuai petunjuk agamanya. Dan kami telah mengumpulkan serta memilah fatwa-fatwa tersebut dari kumpulan fatwa Samaahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah dengan harapan akan merata manfaatnya dan akan menjadi rujukan/ panduan yang jelas bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk memperdalam masalah hukum-hukum haji. Kami berdoa kepada Allah agar Dia membalas setiap orang yang membaca dan berpartisipasi dalam menyebarkan fatwa ini.

Ø  Wanita berihram dengan mengenakan busana muslimah biasa
Pertanyaan: Bolehkah bagi wanita untuk berihram dengan busana apapun yang ia kehendaki?

Jawab: Ya boleh, Ia boleh berihram dengan busana yang ia kehendaki, tidak ada pakaian khusus untuk ihram bagi wanita sebagaimana persangkaan sebagian orang awam. Akan tetapi yang lebih utama ia berihram dengan busana yang tidak mencolok dan tembus pandang, karena ia akan berkumpul dengan banyak orang. Maka seyogyanya pakaian ihromnya tidak tembus pandang dan mencolok tetapi yang biasa dan tidak mengundang fitnah. Seandainya ia berihram menggunakan pakaian yang mencolok maka ihramnya sah tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih utama.
Adapun laki-laki yang lebih utama ialah berihram dengan dua lembar kain putih, terdiri dari sarung dan selendang. Dan jika ia berihram dengan pakaian selain warna putih maka tidak mengapa. Terdapat penjelasan dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau memakai sorban berwarna hitam. Yang penting tidak mengapa orang laki-laki berihram dengan pakaian selain warna putih.


Ø  Wanita yang melepas pakaian ihram karena alasan haid setelah ia berniat ihram untuk umrah
Pertanyaan: Seorang wanita berihram untuk umrah lalu datang waktu haid, lalu ia menanggalkan pakaian ihramnya dan membatalkan umrahnya lalu pulang (ke negrinya), bagaimana hukumnya?

Jawab: Wanita tersebut tetap dalam keadaan ihram secara hukum, adapun ia menanggalkan pakaian ihramnya tidak mengeluarkannya dari keadaan ihram secara hukum. Dan wajib baginya untuk kembali ke Mekkah lalu menyempurnakan umrahnya dan tidak ada kaffarah (denda) baginya lantaran menanggalkan pakaian umrah serta kepulangannya ke negrinya jika perbuatannya tersebut dilakukan karena unsur ketidak tahuan. Akan tetapi jika ia telah bersuami lalu suaminya menyetubuhinya sebelum ia kembali (ke Mekkah) untuk menunaikan umrah maka hal itu akan merusakkan umrahnya. Walaupun demikian ia wajib menunaikan umrahnya tersebut, walaupun sudah rusak, lalu menggantinya dengan umrah yang lain dan bersamaan dengan itu ia terkena fidyah (tebusan) yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau seekor kambing yang berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Tanah Haram Mekkah lalu dibagikan kepada fakir miskin di Tanah Haram sebagai akibat rusaknya umrah karena bersetubuh. Dan bagi wanita diperbolehkan berihram dengan pakaian apapun yang ia kehendaki. Tidak ada pakaian khusus untuk berihram bagi wanita sebagaimana persangkaan orang awam, akan tetapi yang lebih utama hendaklah pakaian ihramnya tidak mencolok sehingga tidak mengundang fitnah. Wallahu a’lam.


Ø  Hukum melepas jalinan rambut wanita saat ia berihram

Petanyaan: Apakah melepas jalinan rambut atau memakai pacar di tangan atau kedua kakinya saat wanita berihram termasuk larangan ?

Jawab: Tidak mengapa dalam masalah ini. Melepas jalinan rambut tidak mengakibatkan resiko apa-apa dan tidak pula dianggap sengaja memotong rambut. Menguraikan jalinan rambut untuk dicuci atau sebab lain tidak mengapa. Yang dilarang adalah memotong rambut sebelum selesai (tahallul) dari ihramnya. Adapun melepas jalinan rambut atau membilas rambut dengan sesuatu atau menyemirnya dengan pacar dan yang semisalnya maka tidak memudharatkan. Tetapi jika ia mewarnai tangan dan kedua kakinya, hendaklah ia menutupnya dengan pakaian dari pandangan orang lain, karena (bila tidak) akan mengundang fitnah / (menarik pandangan lelaki yang bukan muhrimnya-pent).
- Seandainya ia mencampur pacar dengan sesuatu yang mirip minyak wangi (bagaimana)? Tidak boleh, minyak wangi tidak boleh, terlarang. Tetapi kalau pacar saja tanpa ada tambahan lain tidak mengapa asalkan tangan dan kaki tertutup saat thawaf, sa’i dan saat berada di tengah laki-laki.

Ø  Hukum rambut kepala yang rontok

Pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan wanita yang sedang berihram jika rambut kepalanya rontok tanpa kesengajaan ?

Jawab: Jika seseorang sedang berihram baik laki-laki maupun wanita lalu ada beberapa helai rambut yang rontok saat mengusap kepala baik sewaktu berwudhu maupun mandi maka hal tersebut tidak memudharatkannya. Begitu juga jenggot, kumis, atau kuku tidak mengapa asalkan tidak disengaja. Hanya saja yang dilarang jika sengaja memotongnya, adapun sesuatu yang lepas/jatuh dengan tanpa sengaja tidaklah mengapa karena ia adalah anggota tubuh yang tidak bernyawa yang mungkin lepas saat bergerak. Wallahu a’lam.

Petanyaan: Bolehkah wanita yang sedang haid membaca buku-buku doa pada hari Arafah mengingat padanya terdapat ayat-ayat Al Quran?

Jawab: Tidak ada halangan bagi wanita haid dan nifas membaca doa-oa yang tertulis saat menjalankan ibadah haji. Dan juga tidak mengapa  membaca Al Quran menurut pendapat yang benar, karena tidak terdapat nash yang benar dan tegas yang melarang wanita haid dan nifas untuk membaca Al Quran. Hanya saja terdapat (keterangan) secara khusus bagi orang yang junub untuk tidak membaca Al Quran dalam keadaan junub, berdasarkan hadits Ali radliyaallahu ‘anhu. Adapun wanita haid dan nifas maka terdapat hadits Ibnu Umar radliyaallahu ‘anhuma : Janganlah wanita haid dan nifas membaca sesuatu dari Al Quran. Akan tetapi hadits tersebut lemah karena dari riwayat Ismail bin ’Iyasy dari kaum Hijaz, padahal ia adalah rawi yang dlaif (lemah) jika meriwayatkan dari mereka. Akan tetapi wanita yang haid dan nifas boleh membaca dalam hati tanpa menyentuh mushaf Al Quran. Adapun orang yang sedang junub tidak diperbolehkan membaca Al Quran baik dalam hati maupun langsung dari mushaf sampai ia mandi. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa orang yang junub masanya singkat dimana kemungkinannya untuk mandi seketika setelah selesai bersetubuh dengan istrinya kapan ia mau ia bisa mandi. Dan jika tidak mungkin menggunakan air ia dapat bertayammum lalu shalat dan membaca (Al Quran).

          Adapun wanita yang haid dan nifas maka bukan kemauannya tetapi semata-mata adalah kehendak Allah Azza Wa Jalla, kapan ia suci dari haid atau nifasnya ia harus mandi. Haid membutuhkan waktu beberapa hari demikian juga nifas. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua golongan tersebut untuk membaca Al Quran agar tidak lupa dan tidak terlewatkan keutamaan membaca Al Quran. Juga dibolehkan untuk mempelajari hukum-hukum syariat dari kitab Allah terlebih lagi membaca buku-buku yang berisi doa-doa yang diambil dari hadits dan ayat Al Quran atau yang lainnya. Inilah yang benar dan merupakan pendapat yang paling benar dari dua perkataan  para ulama (semoga Allah merahmati mereka)  dalam masalah ini.
Tulisan ini masih panjang.....selanjutnya silahkan download aja klik disini

Tidak ada komentar: